Henys Cake

.

METODOLOGI PEMIKIRAN DALAM FILSAFAT PENGETAHUAN

Share this:


A. PENDAHULUAN
Beberapa sumber menyebutkan, tidak kurang dari 400 tahun, dunia keilmuan telah berada dalam domonasi dan otoritas positivisme, tidak saja pada ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial, bahkan ilmu humanities. Positivisme mendasarkan ilmu-ilmu pengetahuan pada fakta obyektif. Jika faktanya adalah “Gejala kehidupan material”, ilmu pengetahuannya adalah biologi. Jika fakta itu “benda-benda mati” ilmu pengetahuannya adalah fisika. Nah dalam hal ini yang merupakan persoalan serius yang menandai krisis pengetahuan ini bukanlah pada pola pikir positivisme yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmi-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial.[1]
Persoalan serius yang selalu menarik perhatian dalam diskusi-diskusi ilmu sosial adalah soal obyek observasinya yang berbeda dari ilmu-ilmu alam, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis. Hal inilah yang mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’
peran sabyek kedalam proses keilmuan itu sendiri. Setidaknya ada tiga pendekatan yang sama-sama mencoba mengatasi positivisme dalam ilmu sosial dengan menawarkan metodologi baru yang lebih memposisikan subyek yang menafsirkan obyeknya sebagai bagian tak terpisahkan dalam proses keilmuan, yaitu fenomenologi, hermeneutika, dan teori kritis.[2] Tulisan berikut ini lebih akan memfokuskan pada kajian metode fenomenologi.
Munculnya fenomenologi lazimnya dikaitkan dengan Husserl, yang memperkembangkan aliran ini sebagai cara atau metode pendekatan dalam pengetahuan manusia. Menurut prinsip yang dicanangkannya, fenomenologi haruslah kembali kepada data bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya. Subyek harus melepaskan atau – menurut istilah Husserl, menaruh antara tanda kurung semua pengandaian-pengandaian dan kepercayaan-kepercayaan pribadinya serta dengan simpati melihat obyek yang mengarahkan diri kepadanya. Langkah ini disebutnya epoche. Melaui proses ini obyek pengetahuan dilepaskan dari unsur-unsur semantaranya yang tidak hakiki. sehingga tinggal eidos (hakikat obyek) yang menampakkan diri atau mengkonstitusikan diri dalam kesadaran. Jelaslah disini bahwa fonomenologi Husserl menebas tradisi yang sudah dirintis sejak Descartes hingga Hegel, yang mengembangkan pengetahuan lewat konstuksi spekulatif di dalam budi. Bagi Husserl, pengetahuan sejati adalah kehadiran data dalam kesadaran budi, bukan rekayasa pikiran untuk membentuk teori.
Dengan segera fonomenologi memperoleh pamor yang sangat luas. Hal ini karena fonomenologi tidak mengajukan suatu sistem pemikiran yang ekslusif, sebagaimana aliran-aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, yang menjadi isme-isme besar, melainkan cara, atau metode saja dalam mendekati persoalan. Dengan demikian fenomenologi dapat digunakan untuk atau dianut oleh berbagai bidang ilmu seperti antropologi, sosiologi dan studi-studi agama. Semuanya ini mempunyai kesamaan umum dalam hal empati pada obyek penyelidikan dan mencoba menangkap hakikat obyeknya, sebagaimana ia menampakkan diri dalam kesadaran.[3]
Metode fonomenologi tidak hanya menghasilkan suatu deskripsi mengenai gejala-gejala yang dipelajari, sebagaimana sering diperkirakan, tidak juga bermagsud menerangkan hakikat filosofis dari fenomena itu; sebab fonomenologi bukanlah sekedar deskriptif atau normatif belaka, tetapi metode ini memberikan kepada kita arti yang lebih dalam dari sutu fenomena.

B. PENGERTIAN
Kata fenomenologi berasal dari kata Yunani, phainesthai yang berarti “menunjukkan” dan “menampakkan diri sendiri”.[4] Pada literatur lain ia berasal dari kata Yunani phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi, fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang menampakkan diri.[5]
Sebagai ‘aliran’ epistimologi, fenomenologi diperkenalkan oleh Edmund Husserl [1859-1938]., meski sebenarnya istilah tersebut telah digunakan oleh beberapa filsuf sebelumnya.[6] Namun dialah yang kemudian dikenal sebagai pendiri fenomenologi yang berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang, dan manusia dapat mencapainya. Adapun inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali pada “benda-benda” sendiri. Dalam bentuk slogan pendirian ini mengungkapkan dengan kalimat Zu den Sachen [to the things].[7] kembali kepada “benda-benda” dimaksudkan adalah bahwa “Benda-benda” di beri kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya. Pernyataan tentang hakikat “Benda-benda” tidak lagi tergantung kepada orang yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh “Benda-benda” itu sendiri.
Akan tetapi “Benda-benda” tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat sendirinya. Apa yang kita temui pada “benda-benda” itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada di balik yang kelihatan itu; karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka di perlukan pemikiran ke dua (second look). Alat yang di gunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini adalah intuisi dalam menemukan hakikat adalah Wesenchau, melihat (secara intuitif) hakikat gejala-gejala.[8]
Dalam usaha melihat hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi. Yang dimaksud reduksi dalam hal ini adalah penundaan segala pengetahuan yang ada tentang objek sebelum pengamatan intuisi dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang digunakan oleh Husserl adalah epoche, yang artinya sebagai penempatan sesuatu diantara dua karung. Namun yang dimaksud adalah “melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara dan berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya”.[9] Reduksi ini adalah salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologi bersikap netral. Tidak menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada dalam hal ini diberi kesempatan “berbicara tentang dirinya sendiri”.[10]
C. BAGAIMANA PENDEKATAN REDUKSI BEKERJA
Ada tiga reduksi yang di tempuh untuk mencapai realitas fenomena dalam pendekatan fenomenologi, yaitu:
1.reduksi fenomenologis.
2.reduksi eidetis.
3.reduksi fenomenologis-transendental’
1. Reduksi fenomenologis
Fenomena seperti di sebut di atas adalah menapakkan diri. Dalam praktek hidup sehari-hari,kita tidak memperhatikan penampakan itu.Apa yang kita lihat secara spontan sudah cukup meyakinkan kita bahwa obyek yang kita lihat adalah riil atau nyata. kita telah meyakini sebagai realitas di luar kita. Akan tetapi, karena yang di tuju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yan ada di luar dirinya dan ini hanya dapat di capai dengan”mengalami“ secara intuitif, maka apa yang kita anggap sebagai realitas dalam pandangan biasa itu untuk sementara harus di tinggalkan atau di buat dalam kurung. Segala subjektivitas di singkirkan. Termasuk di dalam hal ini teori-teori, kebiasaan-kebiasaan dan pandangan-pandangan yang telah membentuk pikiran kita memandang sesuatu (fenomena) sehingga yang timbul di dalam kesadaran adalah fenomena itu sendiri. Karena itulah reduksi ini di sebut fenomenologis.[11]
Reduksi pertama ini merupakan “pembersihan diri” dari segala subjektifitas yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas itu.
2. Reduksi Eidetis
Eidetis berasal dari kata eidos, yaitu inti sari. Reduksi eiditis ialah penyaringan atau penempatan di dalam kurung. Segala hal yang bukan eidos, inti sari atau realitas fenomena. Hasil reduksi ke dua ini adalah penilikan realitas.[12] Dengan reduksi eidetis, semua segi,aspek dan profil dalam fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan profil tidak pernah menggambarkan objek secara utuh. Setiap objek adalah kompleks mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga.
Hakikat (realitas) yang di cari dalam hal ini adalah struktur dasar yang meliputi isi fundamental dan semua sifat hakiki. Untuk menentukan sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-contoh tertentu yang representstif melukiskan fenomena. Kemudian di kurangi atau di tambah salah satu sifat.[13] pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau menambah makna fenomena dianggap sebagai sifat-sifat yang hakiki.
Reduksi eiditis ini menunjukan bahwa dalam fenomenologi kriteria kohesi berlaku. Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat di satukan dalam suatu horizon yang konsisten. Setiap pengamatan memberi harapan akan tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang pertama atau yang selanjutnya.
3. Reduksi Fenomenologi-Transendental
Di dalam reduksi ini yang di tempatkan di antaranya dua kurung adalah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subjek sendiri.[14] Reduksi ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai objek ,atau fenomena bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri kepada kesadaran.
Reduksi ini merupakan pengarahan kesubjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran. Dengan demikian yang tinggal sebagai hasil reduksi ini adalah fakta kesadaran sendiri. kesadaran di sini bukan pula kesadaran empiris lagi, bukan kesadaran dalam arti menyadarkan diri berdasarkan penemuan dengan fenomena tertentu. kesadaran yang di temukan adalah kesadaran yang bersifat murni atau transendental, yaitu yang ada bagi diriku didalam aktrus-aktrus dengan singkat dapat disebut sebagai subjektivitas atau “aku” transendental .[15]
Dalam hal ini ”aku” transendental mengkonstitusi esensi-esensi umum. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya Husserl menyadari bahwa objek- objek pada umumnya tidak terlepas dari proses sejarah dan budaya. Artinya,sejarah dan budaya mempunyai saham dalam memahami objek-objek. Kursi misalnya tidak jelas maknanya bagi seorang yang tetap hidup di hutan, atau dalca tidak akan di pahami maknanya kecuali oleh sebagian orang-orang India bagian selatan. Objek yang di dasari (noema) baru menjadi realitas bagi satu subjek, sedangkan subjek lebih dari satu untuk menghindari ini. Husserl membuat reduksi, lebenswelt (dunia yang hidup atau dunia mamnusia umum).12 Dengan reduksi ini, apa yang disadari adalah realitas absolut dari fenomena, meliputi seluruh perspektifnya. Dan “ aku “ transendental antar subjek. Ini yang ditempuh Husserl untuk menghindari solipisme fenomenologis.
Tujuan dari semua reduksi ini adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Husserl ingin dengan metode ini memberikan landasan yang kuat dan netral bagi filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Akan tetapi, didalam sistem filsafatnya, Husserl akhirnya menjurus pada idealisme transendental seperti digambarkan diatas. Dan diceritakan bahwa hal itu bertentangan dengan tujuan semula. Namun semula, bagaimana jalan keluar yang ditempuhnya dalam menyelesaikan masalah itu sampai akhir hayatnya, tidak jelas.
Pada umumnya pengikut-pengikutnya yang menyetujui idealisme Husserl, mereka hanya sepaham dengan Husserl pada tahap awal dari perkembangan pemikirannya. Pendekatan fenomenologis yang diambil pengikut-pengikutnya tidak termasuk reduksi terakhir yang menimbulkna idealisme Transendental.
Proses reduksi itu apabila disederhanakan dapat disebut sebagai penumbuhan sikap kritis dalam memahami secara menyeluruh dari berbagai seginya. Artinya, kita dengan tidak mudah menerima pengertian dan rumusan seperti itu atau pemahaman kita yang spontan terhadap sesuatu belum tentu menyentuh hakikat dari apa yang kita tuju. Yang demikian hanyalah pandangan pertama.14 Kita harus melakukan pandangan kedua meninggalkan segala tabir yang menghalangi kita menemukan hakikat objek. Kita kembali kepada objek secara langsung.
Pendekatan fenomenologi ini sangan besar pengaruhnya didalam filsafat belakangan ini. Bahkan juga pendekatan ini digunakan dalam ilmu – ilmu sosial dan matematika. J.F.Donceel, misalnya, telah menggunakan pendekatan fenomenologi dalam memahami manusia didalam bukunya ,philisiphical Antropology. Roger Garaudy juga menggunakan pendekatan fenomenologidalam usahanya memahami filsafat, sejarah politik, kebudayaa- kebudayaan dan agama.15

D. SEBUAH ILUSTRASI FENOMENOLOGIS
Sebuah cerita dari James Horriot (Jangan Bangunkan Dokter Hewan Yang Tidur, London 1973). Salah satu episode dalam buku ini melukiskan perubahan besar dalam hidup seorang Petani inggris waktu sebuah zaman menggantikan kuda dengan traktor dan truk. Sebelum terjadi mekanisasi pertanian, kandang penuh dengan kuda-kuda yang kuat dan hidup banyak orang-orang bujang yang bekerja ditempat pertanian yang sebagian besar diisi dengan mengurus kuda yaitu memberi makanan, membersihkan kandang, mengawinkan, menolong kelahiran dan sebagainya, sebuah usaha yang amat berat tetapi memuaskan. Terlebih lagi jika digelar pesta-pesta pertandingan dan perlombaan pacuan kuda. Kuda dihiasi di bawa ke alun-alun, diperiksa, dipacukan dan kemudian diberikan hadiah.
James Horriot memulai ceriteranya sesudah terjadi revolusi tekhnologi. Dalam sebuah kandang yang dahulu dipenuhi oleh binatang-binatang kuda yang mulia, saat ini hanya tersisi satu kuda saja. Hewan yang sudah tua-renta, sakit-sakitan sampai-sampai pemiliknya tidak sampai hati membawanya ketukang potong hewan karena masih ada an old farmhand seorang bujang tua yang tidak bisa memisahkan diri dari teman seumur hidupnya itu. Kemudian didatangkanlah tiga orang dokter hewan. Seorang dokterhewan tanpa hati (robot), seorang dokter hewan yang masih manusia dan satu lagi seorang dokter yang ahli fenomenologi.
Bagaimana cara kerja tiga dokter hewan ini saat dihadapkan pada kuda tua renta itu? Dokter hewan tanpa hati akan memeriksa kuda tua yang sakit itu dengan pandangan bahwa kuda itu bukan hal lain dari sebuah organisme yang terdiri dari tulang, otot, saraf, darah dan kulit sehingga dia tidak bisa memberi keputusan lain kecuali kudi ini sudah harus mati. Ilustrasi diatas merupakan sutu contoh reduksi biologi. Berbeda dengan seorang dokter hewan dengan hati seperti dilukiskan James Herriot. Dokter itu mengerti bahwa kuda ialah kuda ialah kuda. dengan penuh rasa kasihan ia menobati pasiennya, berusaha supaya makhluk yang tua dan sakit menjadi sembuh kembali karena ia tahu bahwa dia teman seumur hidup dari Mr. Cliff seorang buruh pertanian yang masih hidup dalam dunia kekudaaan mulia, dengan pesta-pesta, perlombaan dan suka duka yang dialami di dalam dunia pergaulan manusia dan kudanya.
Lain lagi pada saat seorang dokter yang fenomenolog. Pada saat dia berdiri didepan kuda dia insaf bahwa tidak ada obyek tanpa sabyek dan benda yang ada ialah selalu benda yang saya lihat, benda yang saya dengar, meraba, atau menempatkan dalam sutu ruang. Sampai disini jelaslah bahwa perbedaan dokter hewan robot dan dokter hewan dengan hati letaknya adalah pada reduksi. Kuda mulia, teman seumur hidup direduksikan menjadi organisme yaitu rangka yang diisi daging. Reduksi sang fenomenolog lebih hebat lagi, dia tidak memikirkan soal apakah diluar kita ada kuda atau tidak. Tetapi ia hanya akan melukiskan apa yang dialami yaitu kuda sebagai warna, cahaya, ukuran, bunyi dan cahaya. Hal terakhir bukanlah kacamata seniman, dan perbedaannya begitu sulit ditangkap sehingga untuk mencari penjelasannya kita harus mendengar suara dari seorang filsuf Jerman abad yang lalu yang pengaruhnya tidak kalah dengan pengaruh Plato yaitu: George Wilhelm Friedrich Hegel.[16]
Dapat juga dikemukakan contoh dari bayak sekali fenomena keagamaan yang kita saksikan ditengah masyarakat, yang semula ia sebagai tradisi kemudian berkembang menjadi suatu budaya yang memebentuk sistem kepercayaan. misalnya mengapa seseorang memasang sesaji, mengapa seseorang mempersembahkan kurban untuk para dewa, atau dalam Islam kurban sebagai syari’at penyembelihan hewan yang “nilai kesediannya”dipersembahkan untuk Alloh SWT. Dan nilai obyeknya diberikan kepada sesama manusia.
Pokok bahasan dari setiap penyelidikan ilmiah terhadap agama adalah fakta agama itu sendiri dan pengungkapannya. Bahan-bahan ini diambil dari pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan manusia, tatkala mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakan seperti do’a upacara-upacara dan sikap-sikap religius yang lainnya sebagaimana termuat dalam mitos-mitos dan simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaannya berkenaan dengan yang suci, makhluk-makhluk supranatural, dewa-dewa dan sebagainya. Penyelidikan ilmiah terhadap fonomena agama ini meski dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu antara lain sosiologi dan antropologi agama, yang menekankan pada inter-relasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar mereka.[17], Psikologi agama, teologi agama, yang kesemuanya akan dijadikan data dalam mendapatkan pengetahuan tentang fenomena agama dimaksud.
Sejarah agama telah mencatat telah memperoleh manfaat dari penyelidikan ilmu-ilmu diatas. Ilmu-ilmu ini telah dan masih terus membawa sumbangan yang berarti untuk studi agama, dimana data dan kesimpulannya menolong para sejarawan agama untuk memahami kontek hidup dari sumber-sumbernya sebab tidak ada fakta keagamaan yang benar-benar “murni”. Setiap fakta keagamaan juga bersifat social psikologis atau cultural. Akan tetapi kekacauan dalam hal batas jangkauan dan metode dari ilmu-ilmu ini hanya akan membawa pada reduksinisme, yakni teori yang hanya akan merendahkan agama menjadi semacam epifenomen dari struktur social, psikologia atau social. Teori-teori reduksionis semacam ini telah diajukan oleh sosiolog seperti Durkheim, oleh psikolog seperti Freud dan oleh sejumlah etnolog, baik yang bersifat evolusionis maupun difusionis. Sejarawahn agama mempertimbangkan fonomena agama sebagai agama yang khas dan memusatkan perhatiannya pada makna keagamaan dari fenomena yang diperlihatkan oleh ilmu-ilmu tersebut.[18]
E. KESIMPULAN
1. Tidak kurang dari 400 tahun, dunia keilmuan telah berada dalam domonasi dan otoritas positivisme, Persoalan serius yang selalu menarik perhatian dalam diskusi-diskusi ilmu sosial adalah soal obyek observasinya yang berbeda dari ilmu-ilmu alam, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis. Hal inilah yang mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’peran sabyek kedalam proses keilmuan itu sendiri. Setidaknya ada tiga pendekatan yang sama-sama mencoba mengatasi positivisme dalam ilmu sosial dengan menawarkan metodologi baru yang lebih memposisikan subyek yang menafsirkan obyeknya sebagai bagian tak terpisahkan dalam proses keilmuan, yaitu fenomenologi, hermeneutika, dan teori kritis.
2. Sebagai ‘aliran’ epistimologi, fenomenologi diperkenalkan oleh Edmund Husserl [1859-1938].,Inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali pada obyek “benda-benda” sendiri, bukan pada interpretasi yang muncul dari subyek penelitinya semata.
3. Dalam Epistimologinya, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi, yaitu satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologi bersikap netral. Reduksi ini merupakan pengarahan kesubjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran. Dengan demikian yang tinggal sebagai hasil reduksi ini adalah fakta kesadaran sendiri.
4. Fenomenologi Pada penelitian modern dan penyelidikan ilmiah, misalnya terhadap fonomena agama, maka yang meski dilakukan oleh seorang peneliti adalah mengelaborasi penelitiannya dengan berbagai disiplin ilmu antara lain sosiologi dan antropologi agama, yang menekankan pada inter-relasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar mereka, Psikologi agama, teologi agama, yang kesemuanya akan dijadikan data dalam mendapatkan pengetahuan tentang fenomena agama dimaksud.


DAFTAR PUSTAKA

Bertens K., Filsafat Barat dalam Abad XX, (Jakarta : PT. Gramedia, 1981)

Bakker Anton, Metode-metode filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1984)

Bronwer M.A.W., Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman, (Bandung : Alumni, 1980)

Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi agama, (Yogyakarta : Kanisius 1995)

Muslih Mohammad, Filsafat Ilmu, Kajian atas asumsi dasar paradigma dan kerangka teori ilmu pengetahuan, (Yogyakarta, Belukar 2006)

Hadiwidjono Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Jogjakarta : Yayasan Kanisius, 1980)
Hamersma Harry, Tokoh-tokoh filsafat Barat Modern, (Jakarta : PT. Gramedia, 1983)
[1] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian atas asumsi dasar paradigma dan kerangka teori ilmu pengetahuan, (Yogyakarta, Belukar 2006), 124
[2] Ibid, 126-127
[3] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi agama, (Yogyakarta : Kanisius 1995), 6
[4] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, 127
[5] K. Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX, (Jakarta : PT. Gramedia, 1981), 109
[6] Istilah tersebut telah dikenal sejak abad ke-18. Lembert dalam bukunya: Neue Organon (1764) yang memakai nama phenomenologie untuk teori penampakan fundamental terhadap semua pengetahuan empirik. Immanuel kant (1724-1804) menggunakan kata noumenon untuk ujud realitas dan phenomenon untuk pemahaman terhadap realitas itu pada kesadaran. Hegel (lahir 1770) memberi arti lain, yakni conversant mind (pengetahuan tentang pikiran). Menurut Hegel, jika kita menganggap pikiran semata-mata dengan pengamatan dan pengenerralisasian sebagai fenomena dalam penampakan dirinya, maka kita memiliki satu bagian dari pengetahuan mental dan inilah yang disebut phenomenology of mind. Moritz Lazarus dalam bukunya leben der seele (1856-1857) membedakan istilah fenomenologi dengan psikologi. Yang pertama menggambarkan kehidupan mental dan yang terakhir disebut mencari penjelasan kausal pada kehidupan mental.
[7]Harry Hamersma, Tokoh-tokoh filsafat Barat Modern, (Jakarta : PT. Gramedia, 1983), 116.
[8] Anton Bakker, Metode-metode filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1984),113-117
[9] M.A.W. Bronwer, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman, (Bandung : Alumni, 1980), 52.
[10] Anton Bakker, Metode-metode filsafat, 112
[11]M.A.W. Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman , 52
[12]Harun Hadiwidjono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Jogjakarta : Yayasan Kanisius, 1980), 143
[13] Anton Bakker, Metode-metode filsafat , 116
[14] Harun Hadiwidjono, Sari Sejarah Filsafat Barat, 144
[15] Anton Bakker, Metode-metode filsafat, 117, Baca juga M.J.Langevald, Menuju pemikiran filsafat, (Jakarta: PT.Pembangunan,T.th), 102.
[16] M.A.W. Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman, 3-4

[17] J. Wach, Sosiologi of Religion, (Chicago, 1943), 11 yang dimuat pada Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama”, (Yogyakarta, Kanisius 1995), 21
[18] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama”, (Yogyakarta, Kanisius 1995), 25

Oleh : Zainul Hakim, S.EI, M.PdI
Share this:

Artikel Terkait Lainnya:

0 comments:

Posting Komentar

Sobat Bisa berkomentar dan mencantumkan link Sobat,Blog ini Dofollow Blog Community

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More